Menjadi Pelaku Kasih dan Perdamaian, Materi PAK kelas 12 SMA/SMK Bab 13
Menjadi Pelaku Kasih dan Perdamaian
Bahan Alkitab: Yeremia 6:1-21; Matius 5:9; Roma 12:18
A. Pengantar
Pelajaran ini adalah yang terakhir dari seluruh rangkaian Pendidikan Agama
Kristen yang diawali sejak peserta didik duduk di kelas I Sekolah Dasar. Tentu
harapan kami selaku penulis buku dan pendidik Agama Kristen adalah kamu sudah
menyatakan komitmenmu selaku murid Kristus. Salah satu indikator dari komitmen
ini adalah, bersedia menjadi pembawa kabar baik dan damai. Pembahasan tentang
damai sudah dimulai pada pelajaran 12, namun pada pelajaran penutup ini kamu
dan kita semua ditantang untuk mewujudkan komitmen kita selaku pengikut
Kristus Sang Raja Damai. Komitmen itu dapat diwujudkan dalam bentuk pelayanan
yang dapat dilakukan sebagai pembawa kabar baik dan damai kepada sesama yang
membutuhkan.
Sebelum kita mulai, bacalah Yeremia 6: 1 – 21 dengan seksama. Catatlah sedikitnya dua hal yang berkesan dari bacaan ini.
B. Uraian Materi
Kasih dan perdamaian tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Semuanya itu
membutuhkan usaha dan kerja keras. Kasih dan perdamaian tidak akan tercipta
dengan hanya mengucapkan “damai sejahtera! damai sejahtera!”
Abigail Disney (2013), filantropis, perempuan pengusaha, aktivis masyarakat,
yang membuat film pendek, “Pray the Devil Back to Hell,” pernah menulis
demikian: “Perdamaian adalah sebuah proses. Ini bahkan bukanlah sebuah peristiwa, kejadian.
Perdamaian adalah sesuatu yang kita buat, yang kita kerjakan. Perdamaian
adalah kata kerja. Perdamaian adalah serangkaian pilihan dan keputusan. Ia
harus dipertahankan, diperjuangkan... Perdamaian tidak diam-diam.
Perdamaian itu bergemuruh!”
Perdamaian dan juga kasih adalah tindakan, bukan kata benda. Artinya, untuk
mewujudkan perdamaian dan kasih, kita perlu melakukan langkah- langkah konkrit
dalam kehidupan kita. Seluruh perbuatan dan gaya hidup kita mestilah
mencerminkan perdamaian dan kasih, sehingga keduanya dapat terwujud dalam
masyarakat kita, di bumi ini.
1.
Agama-Agama dan Kerinduan Akan Damai
Yudaisme, atau agama Yahudi, misalnya, mempunyai konsep syalom yang berarti
damai sejahtera yang didasarkan pada anugerah Allah kepada manusia dan upaya
manusia untuk membangun kehidupan yang baik bersama orang-orang di sekitarnya
dan seluruh alam semesta. Agama Kristen banyak mengikuti konsep yang terdapat
dalam agama Yahudi. Nama “Islam” yang
kita kenal sebagai sebuah agama, didasarkan pada kata “salam”, sebuah kata dari bahasa Arab yang memiliki akar kata yang sama dengan kata
“syalom” dalam bahasa Ibrani. Dengan kata
lain, kata “Islam” juga berasal dari harapan yang sama akan kehidupan yang
penuh dengan kedamaian. Dalam agama Hindu, para pemeluknya saling mengucapkan
salam “shanti,shanti,shanti” yang artinya
“damai, damai, damai”.
Kehadiran agama-agama dan umatnya tidak secara otomatis menghasilkan kasih dan
perdamaian. Manusia perlu berusaha dengan sungguh-sungguh. Pengalaman hidup
manusia menunjukkan betapa sering manusia lebih mudah berperang daripada
menciptakan perdamaian. Sebagai contoh, dunia pernah mengalami dua perang yang
sangat hebat, yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Setelah dunia
diluluh-lantakkan oleh kedua perang tersebut, negara-negara di dunia membentuk
Liga Bangsa Bangsa. Tidak lama kemudian, Liga Bangsa-Bangsa berganti nama
menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk pada 26 Juni 1945 dan
piagamnya ditandatangani di San Francisco, Amerika Serikat.
Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang dan setiap kelompok masyarakat
merindukan perdamaian. Mengapa demikian? Karena manusia sadar bahwa perang
hanya menghasilkan kehancuran dan malapetaka. Karena itu pulalah bila kita
kembali kepada agama, kita akan menemukan bahwa setiap agama mengajarkan
bagaimana manusia mestinya hidup damai dengan sesamanya. Bahkan juga dengan
seluruh alam ciptaan milik Allah.
2.
Agama dan Perang
Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa sejarah setiap agama, khususnya
agama-agama besar di dunia seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, juga
berisi lembaran-lembaran kelam. Ketika para pemeluknya terlibat dalam tindak
kekerasan dan peperangan yang dilakukan atas nama agama, atas nama Tuhan.
Dalam agama Kristen misalnya, pernah terjadi Perang Salib sampai sembilan kali
antara tahun 1095 sampai 1291 yang berlangsung di Timur Tengah untuk merebut
(dan kadang-kadang mempertahankan) Yerusalem.
Perang salib ini ditujukan terutama terhadap orang-orang Islam, tetapi
kadang-kadang juga terhadap bangsa Slavia yang bukan Kristen pada waktu
itu, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen Ortodoks Rusia dan Yunani,
bangsa Mongol, Katar, orang-orang Hus dan Waldensis (orang[1]orang Kristen yang menentang Paus dan merupakan cikal bakal orang-orang
Protestan), dan berbagai musuh politik Paus.
Antara orang-orang Tamil yang umumnya beragama Hindu dan orang-orang Sinhala
yang umumnya beragama Buddha di SriLanka, terjadi pertikaian dan peperangan
yang telah menelan ribuan korban.
Belakangan ini kita juga sering mendengar atau membaca berita-berita tentang
berbagai teror dan kekerasan yang dilakukan atas nama Tuhan dan agama.
Penyerangan atas gedung World Trade Center di New York City pada 11 September
2001 dilakukan atas nama Tuhan. Demikian pula serangan yang dilakukan oleh
sebuah gerakan agama baru, Aum Shinrikyo, di lima stasiun kereta api di bawah
tanah di Tokyo pada 20 Maret 1995. Anggota kelompok ini berhasil menyebarkan
gas sarin yang mematikan. Akibatnya, sebelas orang tewas, dan 5000-an orang
luka-luka. Dalam perang Bosnia, tentara Serbia membunuh dan memperkosa ribuan
orang Kroasia, Slovenia, dan Bosnia, dengan alasan-alasan keagamaan.
Jadi, di satu pihak agama-agama mengajarkan perdamaian, tetapi di pihak lain,
para pemeluk agama sering melakukan tindakan-tindakan kekerasan atas nama
agama, atas nama Tuhan. Mengapa demikian? Bukankah itu semua bertentangan
dengan ajaran-ajaran damai setiap agama?
3.
Rasa Takut
Peperangan dan konflik yang berlangsung dalam sejarah manusia biasanya
disebabkan karena keinginan untuk mempertahankan atau merebut sumber[1]sumber yang langka. Perang Teluk I (tahun 1990 - 1991) dan Perang Teluk II
(2003-sekarang) terjadi karena pihak-pihak yang terlibat memperebutkan
sumber-sumber minyak bumi yang sangat penting bagi kehidupan manusia di muka
bumi ini.
Perang dan konflik juga dapat terjadi karena kebanggaan semu akan keunggulan
bangsa sendiri. Adolf Hitler menyerang negara-negara lain di Eropa karena
keyakinannya bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang paling unggul dan diberkati
Tuhan di muka bumi ini. Mereka ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dunia.
Begitu pula pembantaian atas 800.000 warga suku Tutsi oleh suku Hutu selama
100 hari di Rwanda (tahun 1994) terjadi karena suku Hutu yakin bahwa suku
Tutsi hanyalah “kecoak” yang layak dihancurkan. Perang juga terjadi karena
rasa takut yang berlebihan, meskipun tidak jelas sejauh mana rasa takut itu
dapat dibenarkan. Perang Vietnam (tahun 1959 -1975) , aneksasi Timor Timur
(1975), terjadi karena rasa takut akan bahaya komunis. Saat itu muncul “teori
domino” yang meramalkan akan jatuhnya negara-negara Asia Tenggara ke tangan
kekuatan komunis apabila tidak dihalangi dengan menghancurkan kekuatan komunis
di Vietnam, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Penghancuran terhadap PKI di
Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru juga terjadi karena alasan ini.
C. Mengupayakan Kondisi Damai Sejahtera
1. Konflik di Indonesia
Berbagai konflik pernah dan masih berlangsung di Indonesia hingga saat ini.
Kita dapat mencatat konflik pada awal pembentukan Republik Indonesia dalam
bentuk PRRI, Permesta, Darul Islam, dan lain-lain. Di Aceh dan Papua terjadi
konflik karena masyarakat setempat merasa bahwa kekayaan alam mereka dikuras
sementara rakyat sendiri tidak mencicipi hasilnya. Di Kalimantan pernah
terjadi konflik antara suku Dayak dan Melayu melawan suku Madura yang dianggap
terlalu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat dan tidak menghargai
masyarakat setempat. Di Maluku, Halmahera, Poso, terjadi konflik-konflik yang
diduga terutama didasarkan oleh perebutan kekuasaan sosial-politik dan ekonomi
namun kemudian ditutupi dengan alasan-alasan agama (Trijono, Dewi, &
Qodir, 2004; Manuputy & Watimanela, 2004).
Konflik juga pernah terjadi karena masalah rasial, seperti yang pernah dialami
oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Sepanjang sejarah bangsa ini baru pertama
kali penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan dialami oleh ratusan perempuan
Tionghoa pada Tragedi Mei 1998. Peristiwa tersebut merupakan awal keruntuhan
pemerintahan Orde Baru.
Ada pula konflik-konflik yang terjadi karena alasan-alasan agama. Wujudnya
berupa perusakan dan penghancuran rumah-rumah ibadah dan berbagai fasilitas
yang terkait; penangkapan dan pembunuhan terhadap umat dan tokoh agama lain;
halangan dan larangan bagi umat beragama tertentu untuk menjalankan ibadah dan
kehidupan keagamaannya.
Kejadian-kejadian seperti yang digambarkan tersebut sering kita temukan di
surat kabar maupun media massa lainnya. Sekelompok orang menganggap dirinya,
ajarannya, agama yang dipeluknya sebagai yang paling benar dan satu-satunya
yang memiliki hak hidup, sementara yang lainnya harus ditutup, dilarang,
bahkan kalau perlu dihancurkan. Kehadiran orang lain yang berbeda ras, suku,
bahasa, kelas sosial, agama, pemikiran, pendapat, dan lain-lain seringkali
memang menimbulkan rasa gelisah, rasa terganggu, bahkan terancam.
2. Konflik Antara Manusia dan Kerusakan Alam
Perebutan sumber-sumber alam yang terbatas telah menyebabkan konflik
antarmanusia. Sebaliknya, konflik antarmanusia juga telah menyebabkan rusaknya
alam semesta.
Di masa Perang Vietnam, AS menjatuhkan apa yang disebut “agen oranye”,
yaitu zat-zat kimia yang dimaksudkan untuk menghancurkan tumbuh[1]tumbuhan di permukaan tanah sehingga tentara dan gerilyawan Vietkong
tidak dapat bersembunyi di hutan-hutan. Agen orange ternyata tidak hanya mematikan pohon-pohon dan semak,
tetapi juga mengakibatkan kerusakan pada manusia. Banyak orang yang dilahirkan
dengan cacat tubuh dan wajah karena pengaruh “agen oranye” yang masuk lewat
ibu yang mengandung mereka.
Ancaman yang paling hebat yang dihadapi umat manusia sudah tentu adalah
bom nuklir yang kini semakin luas penyebarannya di seluruh
dunia. Bom nuklir yang kekuatannya ribuan kali bom atom yang dijatuhkan di
kota Hiroshima dan Nagasaki berpotensi menghancurkan manusia, hewan[1]hewan, tumbuhan, dan seluruh alam kita. Kini bom nuklir pun ditemukan di
negara-negara Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, China, India, Korea
Utara, Pakistan, dan Israel. Kemungkinan, Iran juga memilikinya walaupun belum
diberitakan secara resmi.
Bagi bangsa Indonesia, ancaman lain dari konflik yang terjadi dan tidak
diselesaikan dengan baik, adil dan tidak memihak adalah kehancuran negara dan
bangsa yang pluralistik ini. Keberadaan bangsa kita yang sejak awal
pembentukannya disadari harus mengakomodasi semua perbedaan, sangat ditentukan
oleh kesediaan kita semua untuk mengakui semboyan bangsa kita, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Tanpa kesediaan ini, akan sulit bagi bangsa kita untuk terus melangkah
sebagai suatu kesatuan yang utuh.
4.
Dialog Antariman
Sebuah cara yang sangat baik untuk membangun saling pengertian dan saling
menerima di antara masyarakat kita yang pluralistik ini adalah dengan ikut
terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antariman. Dalam kegiatan ini
melibatkan orang tua maupun muda untuk melakukan pertemuan-pertemuan dialogis
maupun kerja sama dengan saudara-saudara mereka yang datang dari latar
belakang etnis, suku, kelas sosial, dan keyakinan yang berbeda-beda.
Di Jakarta ada sebuah organisasi yang dinamai “Wadah Komunikasi dan Pelayanan
Umat Beragama” yang didirikan dengan tujuan seperti di atas. Dalam situs
internetnya, dikatakan bahwa
“Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Beragama (WKPUB) bertujuan untuk
membangun persaudaraan yang sejati melalui kerja sama lintas agama dengan
berbagai komunitas umat beragama, utamanya di wilayah Jakarta Timur dan
sekitarnya. Wadah ini bergerak di tingkat akar rumput dengan berbagai
kegiatan yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kegiatan-kegiatan yang pernah dilaksanakan oleh organisasi ini, antara lain
sebagai berikut.
• malam kebersamaan antarumat beragama
• ceramah tentang ancaman dan bahaya narkoba untuk para pemuda lintas iman,
• malam peduli anak jalanan
• dukungan dan advokasi kepada anak jalanan melalui Rumah Sahabat Anak Puspita
(kegiatan rutin setiap bulan)
• kegiatan live-in pemuda lintas iman (dalam kerja sama dengan Yayasan Panca
Dian Kasih)
• pasar murah untuk warga masyarakat di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
• penyaluran bantuan untuk para pengungsi asal Aceh dan Maluku di Pesantren
Modern Darul Ichsan, Cariu Bogor
• penyaluran bantuan untuk korban kebakaran di RW 05 di Kelurahan Rawa Bunga,
Jakarta Timur
• diskusi antarpemuda lintas iman
• tatap muka dengan tokoh-tokoh agama di Kecamatan Cakung Jakarta Timur.
Peristiwa yang cukup mengharukan adalah ketika umat yang mewakili berbagai
agama dan kepercayaan berkumpul dan berdoa untuk calon Presiden Joko Widodo.
Isi doa adalah sama, yaitu agar Bapak Jokowi diberikan kekuatan dan hikmat
untuk memimpin negara dan bangsa Indonesia yang mengalami begitu banyak
masalah.
Kegiatan-kegiatan seperti di atas tentu akan sangat membantu setiap kelompok
untuk lebih saling mengerti kelompok yang lain, menghilangkan atau
setidak-tidaknya mengurangi rasa curiga. Sebaliknya, mendorong semua pihak
untuk bekerja sama dalam menciptakan rasa damai dan pelayanan bagi pihak-pihak
yang sangat membutuhkan.
Dalam Amsal 16:7 dikatakan, “Jikalau Tuhan berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun
didamaikan-Nya dengan dia.” Ayat ini menjelaskan kepada kita
bahwa untuk hidup damai dengan sesama kita, bahkan dengan musuh kita,
kita harus hidup dalam jalan yang diperkenan Tuhan. Itu berarti
kita didorong, diharapkan, bahkan diwajibkan hidup dalam damai
sejahtera Allah dengan sesama kita, bahkan juga dengan orang-orang yang
membenci kita.
Surat Roma 12:18 mengingatkan kita: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam
perdamaian dengan semua orang!” Surat ini ditulis kepada jemaat Kristen di kota Roma. Mereka hidup sebagai
kelompok minoritas di tengah-tengah mayoritas yang tidak mengenal Kristus dan
bahkan memusuhinya. Kepada jemaat ini, Rasul Paulus menasihati agar mereka
berusaha sedapat mungkin untuk hidup dalam perdamaian dengan orang lain.
Mereka tidak perlu takut dan khawatir akan status mereka sebagai kelompok
minoritas, melainkan berusaha secara aktif membangun jembatan penghubung
antara mereka dengan orang lain, sehingga terciptalah saling pengertian dan
keharmonisan di dalam masyarakat.
Roma 12:20 lebih jauh berkata demikian: “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah
dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya.”
Berdasarkan ayat ini kita belajar bahwa usaha menghadirkan damai sejahtera
harus dimulai dari diri kita sendiri. Dengan mengusahakan perdamaian, dengan
memberikan makan dan minum bagi mereka yang membutuhkan, bahkan bagi
orang-orang yang membenci kita sekalipun, kita akan mampu menghadirkan
kehidupan bersama yang damai.
Rangkuman
Kasih dan perdamaian tidak dapat hadir dengan sendirinya. Kita masing-masing
perlu memulainya. Kita perlu mengembangkan kebiasaan hidup yang mewujudkan
kasih dan perdamaian. Rangkaian konflik, kekerasan, dan kebencian di dunia
perlu diputuskan. Membangun jembatan perdamaian dan saling pengertian adalah
sebuah langkah konkret untuk mengusahakan terciptanya kasih dan perdamaian di
dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar