Materi Pelajaran PAK & BP Kelas XII SMA/SMK Bab12
Kabar Baik di Tengah Kehidupan Bangsa dan Negara
Bahan Alkitab: Mazmur 137; Nehemia 2: 1-20
A. Pengantar
Dalam pelajaran ini, kita akan melihat keterkaitan antara tindakan
seorang pemimpin yang salah yang berakibat buruk terhadap mereka yang
dipimpinnya. Di dalam Alkitab juga tertulis pesan untuk menjadi pembawa
damai sejahtera kepada orang-orang di lingkungan, tanpa menunggu untuk
disuruh oleh pemimpin. Artinya, terlepas dari apa pun yang dilakukan
pemimpin, sudah menjadi tugas kita selaku rakyat yang dipimpin dan
terlebih lagi sebagai murid Kristus untuk selalu membawa damai sejahtera
di lingkungan kita masing-masing. Untuk Indonesia saat ini, tugas sebagai
pembawa damai sejahtera ini menjadi penting karena berbagai kondisi yang
membuat Indonesia terpuruk dan untuk itu diperlukan pemimpin bangsa yang
sungguh-sungguh mau melayani rakyat. Hal buruk yang terjadi di Indonesia
adalah maraknya korupsi yang dilakukan di berbagai bidang oleh pemimpin di
berbagai jenjang. Seharusnya, pemimpin yang baik adalah yang menghantarkan
rakyat yang dipimpinnya mencapai kesejahteraan, bukan malah menumpuk
kekayaan untuk dirinya. Ketaatan beribadah bukan hanya nampak dalam
seringnya beribadah di gereja, melainkan juga perlu ditunjukkan dalam
perilaku bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang baik. Salah satu hal
yang dapat dilakukan sebagai warga negara yang baik adalah menjaga agar
keadilan dan kebenaran tetap ditegakkan di negara kita.
B. Pengalaman Bangsa Israel Ketika Dibuang ke Babel
Karena ketidaktaatan para pemimpin dan bangsa Israel, Allah menghukum
mereka dengan berbagai cara antara lain penyakit dan ditawan musuh. Pada
tahun 597 SM, Nebukadnezar, raja Babel, menyerang Yehuda, dan
mengalahkannya. Pada tahun 589 SM, Nebukadnezer kembali ke Yehuda dan
mengepung Yerusalem selama 18 bulan. Banyak orang Yehuda yang lari ke
daerah-daerah sekitar, seperti Moab, Amon, Edom dan negara-negara lain
untuk menyelamatkan diri (Yeremia 40:11-12). Yerusalem kembali jatuh, dan
Nebukadnezar sekali lagi menjarah kota itu dan Bait Suci, lalu
menghancurkan keduanya pada tahun 587 SM.
Pembuangan ke Babel adalah sebuah peristiwa traumatis dalam sejarah
bangsa Yahudi. Kerajaan mereka hancur. Demikian pula Bait Suci di
Yerusalem. Tanpa Bait Suci, mereka merasa tidak dapat lagi beribadah
kepada TUHAN, Allah mereka. Mereka bersedih hati karena tidak memiliki
tanah air. Mereka merasa terhina karena diserahkan ke tangan bangsa kafir,
bukannya malah melayani Allah di Bait Allah yang kudus. Mereka menderita
terutama karena mereka sadar bahwa keberadaan mereka di negeri asing itu
terutama sekali disebabkan oleh dosa-dosa mereka. Musuh-musuh mereka
mengejek dan mencemooh. Orang Yehuda disuruh menyanyi. “Nyanyikanlah bagi
kami nyanyian dari Sion!” begitu kata mereka. Nyanyian yang diminta
tentunya adalah nyanyian pujian, madah penghormatan dan pengagungan Allah
yang perkasa, pelindung Israel. Tetapi justru inilah ironisnya. Allah
seolah-olah sudah memalingkan wajah-Nya dan tidak peduli lagi kepada
Israel, umat[1]Nya. “Bagaimana mungkin kami menyanyikan pujian bagi Tuhan,” pemazmur
bertanya, “ketika kami menyadari bahwa kami terpuruk dalam keberdosaan
kami? Bagaimana mungkin kami menyanyikan nyanyian dari Sion, sementara
kami terbuang di negeri asing?” (Mazmur 137: 3).
Berita Suka Cita
Umat Israel tidak selamanya menderita di Babel. Setelah berakhir masa
penghukuman mereka, TUHAN Allah mengirimkan utusan-Nya untuk memberitakan
kabar suka cita. Mereka telah ditebus Allah. Mereka akan diperbolehkan
kembali ke Sion, kota Allah. Dengan demikian maka mereka akan dapat
memproklamasikan, “Allahmu itu Raja!” (Yesaya 52:7). Apakah artinya ini?
Ini berarti suka cita umat Allah hanya dapat terjadi apabila mereka
mengakui bahwa Allah itulah Raja. Kehendak Allah haruslah dinyatakan di
dalam kehidupan umat.
Pembangunan kembali Yerusalem terjadi setelah bangsa Yahudi diizinkan
kembali oleh Koresh, raja Persia pada tahun 538 SM. Pada tahun 464 SM
Artahsasta naik takhta sebagai raja di Persia. Ia mempunyai seorang juru
minuman yang berdarah Yahudi yang bernama Nehemia. Nehemia mendengar
berita dari saudaranya, Hanani, tentang kehancuran kota Yerusalem dan Bait
Suci Allah (Nehemia 1:2; 2:3). Mendengar kabar buruk itu, Nehemia merasa
sangat sedih. Berhari-hari ia berpuasa dan berdoa meratapi negeri nenek
moyangnya. Ketika raja melihat kesedihan Nehemia, baginda menanyakan apa
yang membuatnya sedih. Nehemia menceritakan semua yang didengarnya tentang
negeri leluhurnya. Kemudian ia meminta izin kepada raja agar diizinkan
kembali ke Yerusalem, dan memimpin pembangunan kembali kota itu. Raja
mengizinkan Nehemia dan malah mengangkatnya menjadi bupati di Yehuda
(Nehemia 5:14).
Apa arti tindakan Nehemia ini? Keputusannya untuk kembali ke Yehuda dan
membangun kembali negeri leluhurnya tentu membutuhkan pengorbanan besar
pada pihak Nehemia. Ia harus meninggalkan sebuah jabatan yang sangat baik
di istana raja. Kedudukannya tinggi dan ia merupakan orang kepercayaan
raja, namun semuanya itu dilepaskannya. Nehemia bersedia berkorban untuk
meninggalkan kenikmatan tinggal di sekitar istana. Nahemia kembali ke
Yehuda dan kemungkinan sekali selama berbulan-bulan ia harus tinggal di
kemah dengan fasilitas yang serba minim. Makanan dan minumannya pastilah
tidak selezat seperti yang dapat ia nikmati selama tinggal mengabdikan
diri kepada raja. Namun, upaya Nehemia tidak sia-sia. Yerusalem dibangun
kembali. Bangsa Yahudi kembali ke tanah air mereka dan memulai hidup yang
baru. Tapi, semuanya itu hanya bisa terjadi lewat kerja keras dan
pengorbanan bukan dengan berpangku tangan.
Sebuah bangsa acapkali mengalami krisis kehidupan karena tidak
memberlakukan kehendak Allah. Apakah kehendak Allah tersebut?
Kehendak Allah itu adalah hidup berkeadilan, kesediaan setiap anggota
masyarakat untuk berkorban. Para pemimpin haruslah melakukan tugasnya sebagai pemimpin, mendidik
generasi muda untuk menggantikannya, dan memberikan teladan yang baik.
Bila ini yang terjadi, maka bangsa pun akan mengalami damai sejahtera.
C. Penerapan Damai Sejahtera di Indonesia
Pada pelajaran yang lalu, kita sudah membahas sedikit tentang sulitnya
hidup masyarakat miskin di Indonesia. Banyak dari mereka yang menderita
sehingga akhirnya bunuh diri karena tidak tahan lagi menanggung
penderitaan dan kemiskinan mereka.
Mari kita pelajari keprihatinan dari Sri Edi Swasono (edukasi.kompasiana,
2012), mantan anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan, dan guru besar
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, penulis buku “Indonesia dan
Doktrin Kesejahteraan Sosial”. Ide-ide penting yang terus menerus
dipertanyakannya adalah antara lain:
1). Mengapa pembangunan yang terjadi di Indonesia ini menggusur orang
miskin dan bukan menggusur kemiskinan? Dalam hal ini pembangunan malah
menghasilkan dehumanisasi di mana orang miskin semakin menjadi miskin
dengan mengalami kehilangan tanah dan kesempatan mendapatkan pendidikan
serta pekerjaan yang layak.
2) Mengapa yang terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan
pembangunan Indonesia? Orang-orang asing membangun Indonesia dan menjadi
pemegang izin bagi usaha-usaha ekonomi strategis, sedangkan orang
Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi pelayan globalisasi.
Seharusnya, kita orang Indonesia menjadi Tuan di Negeri sendiri, menjadi
“The Master in our own Homeland, not just to become the Host”, yang hanya
melayani kepentingan globalisasi dan manca negara.
Betapa banyaknya sumber daya alam Indonesia yang pengelolaannya
dikerjakan oleh perusahaan asing. Kesejahteraan rakyat tidak kunjung
tercapai, sedangkan kesenjangan antara kaya dan miskin makin meningkat.
Untuk mengubah nasib orang miskin seharusnya yang dilakukan pemerintah
adalah memperbaiki sekolah dan mutu pendidikan di Indonesia; membuka
lapangan-lapangan kerja; memperbaiki kerusakan lingkungan hidup yang
disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, namun yang lebih sering
terjadi adalah, orang miskin digusur ke tempat-tempat lain, ke pinggiran
kota, bahkan ke pulau lain melalui program transmigrasi.
Sri Edi Swasono menambahkan bahwa kita perlu banyak belajar dari
pengalaman di negara-negara lain. Misalnya saja, negara Amerika Serikat
pada awal tahun 2010 berhasil memperjuangkan rancangan undang-undang di
bidang kesehatan. Mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Yang
terjadi sekarang ialah berbagai biaya pelayanan sosial menjadi semakin
mahal seperti biaya pendidikan dan biaya perawatan kesehatan. Dalam hal
inilah, mestinya pemerintah lebih berperan dan bekerja keras dalam
menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil, sehingga orang
miskin dapat terangkat dari kemiskinannya dan mereka yang tidak berpunya
pun dapat menikmati pelayanan kesehatan yang baik.
Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu memahami kebutuhan
masyarakat, dan bukan mereka yang hanya mementingkan diri sendiri atau
golongannya saja. Apalagi karena biaya pencalonan mereka untuk menjadi
pemimpin juga biasanya mahal sekali. Pemimpin yang kita perlukan adalah
pemimpin yang memiliki orientasi untuk rakyat. Pemimpin yang kita butuhkan
bukanlah pemimpin yang dapat dengan mudah memberikan izin kepada investor
asing untuk mendirikan mal, supermarket, hotel mewah dan pemukiman super
mewah dengan menggusur tanah-tanah rakyat dan memberi ganti rugi yang
tidak layak. Ekonomi rakyat adalah wujud dari ekonomi yang berbasis rakyat
(people-based economy) dan ekonomi terpusat pada kepentingan rakyat
(people-centered economy). Ekonomi yang berbasis rakyat ini merupakan inti
dari Pasal 33 UUD tahun 1945, terutama ayat (1) dan ayat (2).
Kabar baik datang pada awal tahun 2014, ketika Pemerintah Indonesia
mengeluarkan Kartu Jaminan Kesehatan Nasional. Kartu ini merupakan kartu
yang dapat digunakan di Puskesmas dan rumah sakit agar biaya pemeriksaan
dokter, pembelian obat, dan fasilitas medis lainnya serta perawatan inap
tidak lagi mahal karena biayanya dibantu oleh pemerintah Republik
Indonesia (www.republika.co.id, 2012 dengan beberapa perubahan).
Sebagai umat Kristen di Indonesia, kita semua terpanggil untuk menghadirkan damai sejahtera Allah. Damai sejahtera tidak bisa dihadirkan hanya dengan berdoa saja, melainkan melalui tindakan[1]tindakan konkrit. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan memberdayakan anggota kelompoknya dan masyarakat luas. Selain itu, kita juga harus membangun kerja sama dengan umat agama lain dengan komitmen membangun sebuah komunitas yang terbuka untuk semua orang. Orang muda Kristen perlu mengembangkan kepempimpinan Kristen yang sedia berkorban demi orang lain, sesuai dengan teladan Kristus.
Marilah menyanyikan lagu KJ 333: “Sayur Kubis Jatuh Harga”.
Sayur Kubis Jatuh Harga
Sayur kubis jatuh harga, pohon tomat kena hama, cengkeh pun tidak berbunga dan jualanku tidak laku, butir padi tak berisi, sampar ayam pun berjangkit, hewan ternak sudah habis, kar’na terpaksa aku jual. Namun aku puji Tuhan dan bersorak sukaria kar’na Dia Pohon s’lamatku! Kepada-Nya ‘ku percaya, aku tidak akan jatuh: Tuhan Allah kekuatanku.
Syair dan lagu: Suan Kol, berdasarkan Habakuk 3:17-19 S. Tarigan 1983
Lagu di atas yang diambil dari
ungkapan nabi Habakuk melukiskan pergumulan umat Allah yang mengalami bala
kelaparan. Bagaimana seharusnya sikap mereka dalam keadaan yang berat ini?
Habakuk mengungkapkan imannya bahwa ia akan tetap berharap kepada Allah. Allah
yang menyelamatkan (memberikan syalom) tetap dapat diharapkan. Ia tidak akan
mengecewakan umat-Nya, karena Allah itu setia (Habakuk 3:17-19).
TUGAS:
- Ada banyak penderitaan yang dialami oleh manusia. Sebutkanlah penderitaan yang dialami oleh manusia yang disebabkan oleh:
- bencana alam
- orang lain
- diri sendiri
- Menurut pembahasan diatas, apakah hubungan antara kepemimpinan dengan penderitaan masyarakat? Seberapa jauh para pemimpin ikut bertanggung jawab atas terjadinya penderitaan di masyarakat?
- Nehemia adalah contoh seorang pemimpin yang idealis, yang rela berkorban demi bangsanya sendiri. Dapatkah kamu menemukan contoh-contoh serupa dalam kehidupan bangsa Indonesia di masa kini? kalau tidak dapat, mengapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar